Absennya Demokrasi di Dunia Islam (5)
Oleh: Asghar Ali Engineer, Direktur Institute of Islamic Studies, Mumbai
Alih bahasa Khairurrazi*
Malaysia juga mengadopsi demokrasi terbatas dan Perdana Meneteri Mahathir Mohamad menganggap HAM sebagai sebuah konspirasi barat. Tidak ada kebebasan demokrasi sejati di Malaysia. Malaysia merupakan pemerintahan semi demokrasi dan semi otoritarian. Sedang Indonesia lama berada di bawah kekuasaan militer dan saat ini sudah menjalani sistem demokrasi akan tetapi sedang mengalami kekacauan politik. Indonesia membutuhkan beberapa waktu lagi bagi demokrasi untuk stabil mengingat vested interest yang kuat sedang berusaha untuk membentuk lagi kediktatorannya.
Oleh karena itu kondisi ekonomi dan sosial, yang lebih bertanggung jawab atas kurangnya demokrasi di dunia Islam dan bukan ajaran Islam. Akan tetapi, para intelektual Muslim harus berefleksi secara serius atas pertanyaan negara-negara Muslim belum bisa menampilkan demokrasi sejati kendatipun adanya klaim bahwa Islam merupakan ajaran yang paling berspirit demokratis. Tanpa demokratisasi di dunia Islam maka tidak akan ada perubahan berharga dapat diharapkan. Absennya demokrasi berarti tunduknya umat Islam dan reformasi modern tidak akan mungkin tanpa adanya pemerintahan yang demokratis.
Dan pemerintahan demokratis tidak mungkin terjadi tanpa terjaminnya kebebasan nurani (conscience), yang tidak eksis di negara Muslim manapun. Independensi berpikir sekalipun dalam hal-hal agama akan ditekan secara keras. Syariah Islam dituntut untuk dilaksanakan secara mekanis yang sering tidak mengindahkan spirit sejati keadilan dan martabat kemanusiaan. Ijtihad yang prinsip juga tidak dianjurkan dan malah dipandang aneh oleh para Ulama dengan mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki kualifikasi mujtahid.
Syariah Islam dikompilasi dalam suatu kondisi sosial dan politik berbeda dan kebanyakan keputusan diambil oleh para Ulama pada kondisi sosio-politis mereka dan karena itu butuh direformulasi. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Ulama atau fuqaha (jamak dari faqih: ahli fiqih) tidak dapat dianggap sebagai wahyu. Para pakar fiqih dan ahli hukum modern perlu bekerja sama untuk merubah hukum-hukum syariah terutama di bidang mu'amalat (hubungan interpersonal). Pondasi pokok dari demokrasi adalah, sebagaimana disebut di atas, kebebasan nurani dan kebebasan nurani tidak akan mungkin tanpa memikirkan kembali isu-isu mu'amalat yang juga termasuk hubungan antara dua jenis. Hukum syariah, sebagaimana yang ada sekarang, sangatlah bias terhadap wanita sedangkan persamaan gender merupakan bagian integral dari budaya demokrasi. Sejumlah negara Muslim tidak mengijinkan wanita untuk voting dengan atas nama Islam.
Pendekatan menyeluruh dari Qur'an adalah persamaan gender tetapi syariah yang ada merefleksikan etos abad pertengahan dan wanita berada pada posisi yang terjepit. Apabila demokrasi berdiri di negara-negara Muslim maka isu-isu kewanitaan akan menjadi sangat sentral. Pergerakan wanita cukup kuat sampai detik ini di negara-negara Muslim, yang memiliki sistem yang berbau demokrasi. Para sarjana wanita dan aktifis hendak meninjau kembali isu-isu dalam syariah dan ingin mengembangkan sebuah kultur baru yang adil gender di masyarakat Muslim.
Banyak negara-negara Muslim memiliki populasi non Muslim yang substansial. Dalam pemerintahan yang demokratis adalah sangat dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk menjamin kebebasan beragama. Non Muslim hendaknya juga dijamin kesamaan hak-hak politisnya. Minoritas Muslim menikmati hak-hak persamaan politis di sejumlah negara non Muslim atau sekuler. Hal ini harus dilakukan juga pada kalangan non Muslim di negara Muslim bukan demi balas budi akan tetapi atas dasar prinsip. Akan tetapi kebanyakan di negara Muslim bahkan umat Islam-pun tidak dapat menikmati hak-hak demokratis, apalagi non Muslim. Elektorat terpisah, apabila itu ada di negara manapun, hendaknya dihapus. Karena pola ini akan menumbuhkan praktek diskriminasi. Hendaknya dibentuk elektorat bersama baik untuk Muslim maupun non Muslim.
Yang terakhir, menghormati HAM adalah sangat perlu dalam sebuah kultur politik demokratis. Tanpa budaya HAM tidak akan ada kultur demokratis sejati. Intelektual Muslim hendaknya berjuang tanpa henti guna menjamin dihormatinya HAM untuk semua warga negara di negara-negara Islam. Kultur HAM inilah yang akan memperkokoh demokrasi dan menghapus kultur feodal yang hanya mengutamakan hak sebagian kecil orang dan mengorbankan yang lain yang lebih besar.
(Tamat)
Catatan penerjemah: Artikel ini ditulis pada April 2001
Alih bahasa Khairurrazi*
Malaysia juga mengadopsi demokrasi terbatas dan Perdana Meneteri Mahathir Mohamad menganggap HAM sebagai sebuah konspirasi barat. Tidak ada kebebasan demokrasi sejati di Malaysia. Malaysia merupakan pemerintahan semi demokrasi dan semi otoritarian. Sedang Indonesia lama berada di bawah kekuasaan militer dan saat ini sudah menjalani sistem demokrasi akan tetapi sedang mengalami kekacauan politik. Indonesia membutuhkan beberapa waktu lagi bagi demokrasi untuk stabil mengingat vested interest yang kuat sedang berusaha untuk membentuk lagi kediktatorannya.
Oleh karena itu kondisi ekonomi dan sosial, yang lebih bertanggung jawab atas kurangnya demokrasi di dunia Islam dan bukan ajaran Islam. Akan tetapi, para intelektual Muslim harus berefleksi secara serius atas pertanyaan negara-negara Muslim belum bisa menampilkan demokrasi sejati kendatipun adanya klaim bahwa Islam merupakan ajaran yang paling berspirit demokratis. Tanpa demokratisasi di dunia Islam maka tidak akan ada perubahan berharga dapat diharapkan. Absennya demokrasi berarti tunduknya umat Islam dan reformasi modern tidak akan mungkin tanpa adanya pemerintahan yang demokratis.
Dan pemerintahan demokratis tidak mungkin terjadi tanpa terjaminnya kebebasan nurani (conscience), yang tidak eksis di negara Muslim manapun. Independensi berpikir sekalipun dalam hal-hal agama akan ditekan secara keras. Syariah Islam dituntut untuk dilaksanakan secara mekanis yang sering tidak mengindahkan spirit sejati keadilan dan martabat kemanusiaan. Ijtihad yang prinsip juga tidak dianjurkan dan malah dipandang aneh oleh para Ulama dengan mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki kualifikasi mujtahid.
Syariah Islam dikompilasi dalam suatu kondisi sosial dan politik berbeda dan kebanyakan keputusan diambil oleh para Ulama pada kondisi sosio-politis mereka dan karena itu butuh direformulasi. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Ulama atau fuqaha (jamak dari faqih: ahli fiqih) tidak dapat dianggap sebagai wahyu. Para pakar fiqih dan ahli hukum modern perlu bekerja sama untuk merubah hukum-hukum syariah terutama di bidang mu'amalat (hubungan interpersonal). Pondasi pokok dari demokrasi adalah, sebagaimana disebut di atas, kebebasan nurani dan kebebasan nurani tidak akan mungkin tanpa memikirkan kembali isu-isu mu'amalat yang juga termasuk hubungan antara dua jenis. Hukum syariah, sebagaimana yang ada sekarang, sangatlah bias terhadap wanita sedangkan persamaan gender merupakan bagian integral dari budaya demokrasi. Sejumlah negara Muslim tidak mengijinkan wanita untuk voting dengan atas nama Islam.
Pendekatan menyeluruh dari Qur'an adalah persamaan gender tetapi syariah yang ada merefleksikan etos abad pertengahan dan wanita berada pada posisi yang terjepit. Apabila demokrasi berdiri di negara-negara Muslim maka isu-isu kewanitaan akan menjadi sangat sentral. Pergerakan wanita cukup kuat sampai detik ini di negara-negara Muslim, yang memiliki sistem yang berbau demokrasi. Para sarjana wanita dan aktifis hendak meninjau kembali isu-isu dalam syariah dan ingin mengembangkan sebuah kultur baru yang adil gender di masyarakat Muslim.
Banyak negara-negara Muslim memiliki populasi non Muslim yang substansial. Dalam pemerintahan yang demokratis adalah sangat dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk menjamin kebebasan beragama. Non Muslim hendaknya juga dijamin kesamaan hak-hak politisnya. Minoritas Muslim menikmati hak-hak persamaan politis di sejumlah negara non Muslim atau sekuler. Hal ini harus dilakukan juga pada kalangan non Muslim di negara Muslim bukan demi balas budi akan tetapi atas dasar prinsip. Akan tetapi kebanyakan di negara Muslim bahkan umat Islam-pun tidak dapat menikmati hak-hak demokratis, apalagi non Muslim. Elektorat terpisah, apabila itu ada di negara manapun, hendaknya dihapus. Karena pola ini akan menumbuhkan praktek diskriminasi. Hendaknya dibentuk elektorat bersama baik untuk Muslim maupun non Muslim.
Yang terakhir, menghormati HAM adalah sangat perlu dalam sebuah kultur politik demokratis. Tanpa budaya HAM tidak akan ada kultur demokratis sejati. Intelektual Muslim hendaknya berjuang tanpa henti guna menjamin dihormatinya HAM untuk semua warga negara di negara-negara Islam. Kultur HAM inilah yang akan memperkokoh demokrasi dan menghapus kultur feodal yang hanya mengutamakan hak sebagian kecil orang dan mengorbankan yang lain yang lebih besar.
(Tamat)
Catatan penerjemah: Artikel ini ditulis pada April 2001
0 Comments:
Post a Comment
<< Home