Absennya Demokrasi di Dunia Islam (4)
Oleh: Asghar Ali Engineer, Direktur Institute of Islamic Studies, Mumbai
Alih bahasa: Khairurrazi
Demokrasi Islam sebagaimana yang berkembang pada masa Nabi dan empat khalifah pertama tidak dapat bertahan lagi. Seluruh rezim yang berkuasa baik di dunia Arab maupun di luar Arab berkarakter dinasti dan tidak ada hubungannya dengan prinsip pemilihan. Kultur politis Islam semakin lama semakin feodalistik. Mungkin itu merupakan kebutuhan historis. Mengingat banyaknya rezim feodal pada saat itu dan suatu usaha, bagaimanapun kuatnya political will, untuk menciptakan sebuah kultur politis yang demokratik tidak akan berhasil dalam kondisi dunia feodal semacam itu.
Ia dapat berhasil di tanah Arab pada masa Nabi karena dua sebab satu faktor spiritual dan dua faktor material. Faktor spiritual adalah kejujuran dan kredibilitas Nabi (beliau dikenal sebagai sadiq artinya yang jujur dan dapat dipercaya bahkan sebelum Nabi memproklamirkan kenabian dan kerasulannya pada masyarakat Makkah). Komitmennya pada terbentuknya sebuah masyarakat yang adil yang menjamin martabat dan harga diri kemanuasiaan tidak diragukan lagi.
Faktor material adalah watak kesukuan (tribal) dari Semenanjung Arabia di mana tidak produksi agrikultura dan sistem kanal yang mengharuskan adanya sebuah kekuasaan yang terpusat dan apropiasi surplus dari kaum tani. Secara faktual baik di Madinah dan di Makkah tidak terdapat administrasi pemerintahan, tidak ada polisi, tentara, pengadilan atau birokrasi atau yg mirip dengan itu. Akan tetapi ketika menyebar ke kawasan Rumawi Timur (Byzantine) dan Sasanid terdapatlah sebuah peradaban agrikultura yang kaya dengan kultur politis feodal. Dan dalam waktu tidak lama pusat perhatian islam berpindah ke kawasan yang kaya ini dan Ibukota politis didirikan di Damaskus dan Baghdad. Makkah dan Madinah menjadi kota-kota suci dan hanya memiliki signifikansi agama sedangkan signifikansi politis berpindah ke kawasan yang subur pertaniannya dengan potensi pengumpulan penghasilan negara yang tinggi.
Oleh karena itu sistem khilafah menjadi sekedar simbolik sedangkan kekuasaan dinasti feodal menjadi substantif.Para penguasa Muslim secara simbolis memangku jabatan kekhalifahan tetapi sama sekali tidak mengikuti prinsif pemilihan sama sekali. Mereka juga tidak meminta pendapat kalangan Muslim, sebagaimana yang dilakukan oleh keempat Khalifah pertama, ketika mengambil keputusan-keputusan politis. Bahkan keputusan-keputusan yang tidak Islami mendapat pengesahan dari para Ulama yg mungkin dibawah tekanan atau bujukan dan apabila ulama ini menolak mereka akan mendapat hukuman berat. Inilah mengapa Imam Ghazali menganjurkan umat Islam untuk tidak memandang wajah para penguasa semacam itu.
Masyarakat Islam setelah itu tidak pernah lagi melihat kembalinya sistem segaimana dalam periode kekhalifahan awal kendatipun terdapat sejumlah usaha oleh segolongan kaum idealis. Masyarakat Islam betul-betul terfeodalisasi. Kendatipun para penguasa di dunia Islam sering bergaya sebagai khalifah tetapi sebenarnya mereka tidak lebih dari raja-raja dan imperium yakni penguasa absolut. Perkembangan politik ini juga memiliki pengaruh pada perkembangan syariah (fiqih) Islam dalam banyak hal. Para Ulama yang memberi interpretasi pada Qur'an dan Hadith berbuat demikian karena berada di bawah pengaruh nilai-nilai feodal. Banyak dari hukum-hukum yang dihasilkan bertentangan dengan spirit Islam dan memberi justifikasi pada sistem hirarki feodal dan monarki. Sebagian kecil ulama yang melawan penguasa diisolasi dan dibuang. Sementara ulama yang berpihak pada kepentingan monarki sering disebut sebagai Ulama su' (ulama yg buruk) tetapi mereka mendapatkan kekuasaan politis.
Ulama yang berintegritas dan berkarakter tidak dapat menyelamatkan struktur politik Islam pada periode awal walaupun mereka memiliki memiliki otoritas moral lebih tinggi. Dunia islam dikuasai oleh kekuasan monarki dan raja-raja yang korup dan haus kekuasaan. Imperialisme Barat pada abad sembilan belas tidak banyak membuat perubahan karena kekuatan imperialis semakin memperkuat penguasa Muslim ini untuk kepentingan mereka sendiri. Masyarakat Islam betul-betul terfeodalisasi karena selama kekuasaan imperialis tidak ada pemimpin massa karismatik yang muncul ke permukaan di negara Muslim manapun. Bahkan Jamaluddin Afghani, figur karismatik pada abad kesembilan belas, memiliki prioritas berbeda. Dia lebih tertarik pada pan-Islamisme dan bahkan meminta bantuan dari para monarki feodal semacam Utsmaniyah untuk mengusir kekuasaan imperialis barat dari dunia Islam. Karena itu alih-alih berhasil, dia malah menjadi korban konspirasi yang dimotori oleh penguasa Utsmaniyah.
Partai Wafd dari Mesir menawarkan konsep demokrasi terbatas pada kekuasaan Inggris dan dengan adanya pergerakan demokrasi ini Mesir memiliki sistem yang berbau demokrasi saat ini. Akan tetapi, Mesir juga masih jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Jamal Abdul Naser mempunyai visi tetapi kekuasaannya terlalu terpusat dalam rangka membawa perubahan dan reform dan bahwa sentralisasi kekuasaan mengalahkan tujuan semula. Penerusnya seperti Anwar Sadat tidak memiliki visi itu juga dan bahkan menjadi lebih otoritarian. Seluruh dunia Arab kekurangan pemimpin masal dalam kaliber apapun karena para penguasa otoritarian menggunakan kebijakan yang sangat represif dan tidak membiarkan pemimpin semacam itu muncul. Apa yang lebih mengganggu adalah bahwa para Ulama di negara-negara Arab mendukung rezim yang berkuasa dan menggunakan Islam untuk melegitimasi kekuasaan otoritarian. Pergerakan apapun yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM) dikecam sebagai konspirasi Barat terhadap Islam kendatipun martabat manusia dan kebebasan nurani sangat pokok dalam ajaran Islam. Iran secara teratur mengadakan pemilu tetapi di sana terdapat juga para Ulama ortodoks yang menguasai pengadilan dan tanpa pengadilan yang bebas demokrasi akan berdampak nominal. Para pendukung Presiden Khatami yang reformis dihukum dan banyak media dengan orientasi reformis diberangus oleh pengadilan ortodoks di Iran. Mereka mengalami masa-masa suram.
Alih bahasa: Khairurrazi
Demokrasi Islam sebagaimana yang berkembang pada masa Nabi dan empat khalifah pertama tidak dapat bertahan lagi. Seluruh rezim yang berkuasa baik di dunia Arab maupun di luar Arab berkarakter dinasti dan tidak ada hubungannya dengan prinsip pemilihan. Kultur politis Islam semakin lama semakin feodalistik. Mungkin itu merupakan kebutuhan historis. Mengingat banyaknya rezim feodal pada saat itu dan suatu usaha, bagaimanapun kuatnya political will, untuk menciptakan sebuah kultur politis yang demokratik tidak akan berhasil dalam kondisi dunia feodal semacam itu.
Ia dapat berhasil di tanah Arab pada masa Nabi karena dua sebab satu faktor spiritual dan dua faktor material. Faktor spiritual adalah kejujuran dan kredibilitas Nabi (beliau dikenal sebagai sadiq artinya yang jujur dan dapat dipercaya bahkan sebelum Nabi memproklamirkan kenabian dan kerasulannya pada masyarakat Makkah). Komitmennya pada terbentuknya sebuah masyarakat yang adil yang menjamin martabat dan harga diri kemanuasiaan tidak diragukan lagi.
Faktor material adalah watak kesukuan (tribal) dari Semenanjung Arabia di mana tidak produksi agrikultura dan sistem kanal yang mengharuskan adanya sebuah kekuasaan yang terpusat dan apropiasi surplus dari kaum tani. Secara faktual baik di Madinah dan di Makkah tidak terdapat administrasi pemerintahan, tidak ada polisi, tentara, pengadilan atau birokrasi atau yg mirip dengan itu. Akan tetapi ketika menyebar ke kawasan Rumawi Timur (Byzantine) dan Sasanid terdapatlah sebuah peradaban agrikultura yang kaya dengan kultur politis feodal. Dan dalam waktu tidak lama pusat perhatian islam berpindah ke kawasan yang kaya ini dan Ibukota politis didirikan di Damaskus dan Baghdad. Makkah dan Madinah menjadi kota-kota suci dan hanya memiliki signifikansi agama sedangkan signifikansi politis berpindah ke kawasan yang subur pertaniannya dengan potensi pengumpulan penghasilan negara yang tinggi.
Oleh karena itu sistem khilafah menjadi sekedar simbolik sedangkan kekuasaan dinasti feodal menjadi substantif.Para penguasa Muslim secara simbolis memangku jabatan kekhalifahan tetapi sama sekali tidak mengikuti prinsif pemilihan sama sekali. Mereka juga tidak meminta pendapat kalangan Muslim, sebagaimana yang dilakukan oleh keempat Khalifah pertama, ketika mengambil keputusan-keputusan politis. Bahkan keputusan-keputusan yang tidak Islami mendapat pengesahan dari para Ulama yg mungkin dibawah tekanan atau bujukan dan apabila ulama ini menolak mereka akan mendapat hukuman berat. Inilah mengapa Imam Ghazali menganjurkan umat Islam untuk tidak memandang wajah para penguasa semacam itu.
Masyarakat Islam setelah itu tidak pernah lagi melihat kembalinya sistem segaimana dalam periode kekhalifahan awal kendatipun terdapat sejumlah usaha oleh segolongan kaum idealis. Masyarakat Islam betul-betul terfeodalisasi. Kendatipun para penguasa di dunia Islam sering bergaya sebagai khalifah tetapi sebenarnya mereka tidak lebih dari raja-raja dan imperium yakni penguasa absolut. Perkembangan politik ini juga memiliki pengaruh pada perkembangan syariah (fiqih) Islam dalam banyak hal. Para Ulama yang memberi interpretasi pada Qur'an dan Hadith berbuat demikian karena berada di bawah pengaruh nilai-nilai feodal. Banyak dari hukum-hukum yang dihasilkan bertentangan dengan spirit Islam dan memberi justifikasi pada sistem hirarki feodal dan monarki. Sebagian kecil ulama yang melawan penguasa diisolasi dan dibuang. Sementara ulama yang berpihak pada kepentingan monarki sering disebut sebagai Ulama su' (ulama yg buruk) tetapi mereka mendapatkan kekuasaan politis.
Ulama yang berintegritas dan berkarakter tidak dapat menyelamatkan struktur politik Islam pada periode awal walaupun mereka memiliki memiliki otoritas moral lebih tinggi. Dunia islam dikuasai oleh kekuasan monarki dan raja-raja yang korup dan haus kekuasaan. Imperialisme Barat pada abad sembilan belas tidak banyak membuat perubahan karena kekuatan imperialis semakin memperkuat penguasa Muslim ini untuk kepentingan mereka sendiri. Masyarakat Islam betul-betul terfeodalisasi karena selama kekuasaan imperialis tidak ada pemimpin massa karismatik yang muncul ke permukaan di negara Muslim manapun. Bahkan Jamaluddin Afghani, figur karismatik pada abad kesembilan belas, memiliki prioritas berbeda. Dia lebih tertarik pada pan-Islamisme dan bahkan meminta bantuan dari para monarki feodal semacam Utsmaniyah untuk mengusir kekuasaan imperialis barat dari dunia Islam. Karena itu alih-alih berhasil, dia malah menjadi korban konspirasi yang dimotori oleh penguasa Utsmaniyah.
Partai Wafd dari Mesir menawarkan konsep demokrasi terbatas pada kekuasaan Inggris dan dengan adanya pergerakan demokrasi ini Mesir memiliki sistem yang berbau demokrasi saat ini. Akan tetapi, Mesir juga masih jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Jamal Abdul Naser mempunyai visi tetapi kekuasaannya terlalu terpusat dalam rangka membawa perubahan dan reform dan bahwa sentralisasi kekuasaan mengalahkan tujuan semula. Penerusnya seperti Anwar Sadat tidak memiliki visi itu juga dan bahkan menjadi lebih otoritarian. Seluruh dunia Arab kekurangan pemimpin masal dalam kaliber apapun karena para penguasa otoritarian menggunakan kebijakan yang sangat represif dan tidak membiarkan pemimpin semacam itu muncul. Apa yang lebih mengganggu adalah bahwa para Ulama di negara-negara Arab mendukung rezim yang berkuasa dan menggunakan Islam untuk melegitimasi kekuasaan otoritarian. Pergerakan apapun yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM) dikecam sebagai konspirasi Barat terhadap Islam kendatipun martabat manusia dan kebebasan nurani sangat pokok dalam ajaran Islam. Iran secara teratur mengadakan pemilu tetapi di sana terdapat juga para Ulama ortodoks yang menguasai pengadilan dan tanpa pengadilan yang bebas demokrasi akan berdampak nominal. Para pendukung Presiden Khatami yang reformis dihukum dan banyak media dengan orientasi reformis diberangus oleh pengadilan ortodoks di Iran. Mereka mengalami masa-masa suram.
1 Comments:
GOLPUT IS THE BEST
Mengapa harus golput?
1. Tidak boleh semajelis dengan kaum kuffar (QS 4:140)
2. Tidak boleh bermusyawarah dengan yang tidak seidiologi islam (QS 42;38, 3;159)
3. Tidak boleh mengikuti / memilih kepemimpinan yang kufur (QS 5:55, 5:50, 9:23, 60:1)
4. Harus mencontoh rasulullah (QS 33:21), sementara rasulullah tidak mencontohkan masuk berparlemen dalam darun nadwah Quraisy
5. Harus berbarao’ah (berlepas diri) dari sistem kuffur (60:4)
6. Tidak boleh Ta’awun dalam ismun dan udwan
7. Tidak boleh tasyabbuh pada kaum kuffar
Post a Comment
<< Home