Absennya Demokrasi di Dunia Islam (1)
Oleh Asghar Ali Engineer, Direktur Institute of Islamic Studies,Mumbai
Alih bahasa oleh Khairurrazi*
Di sebuah acara T.V. seorang redaktur senior dari sebuah harian terkenal bertanya pada saya mengapa Islam begitu tidak demokratis? Pertanyaan itu mendorong saya menulis artikel ini. Pertanyaan itu harus dijawab. Apakah islam tidak demokratis karena berdasarkan watak ajaran yg terkandung di dalamnya? Mengapa tidak ada negara Muslim yang memiliki sistem demokrasi? Hampir semua negara Muslim dipimpin oleh raja-raja, sheikh, diktator militer atau sistem yang semi demokratis. Ini merupakan pertanyaan penting, yang harus dijawab dengan memuaskan. Pertanyaan lebih penting dalam hal ini adalah: Apakah Islam bertanggung jawab atas keadaan umat? Dapatkah sebuah agama menjadi demokratis
atau tidak demokratis? Ataukah para penganutnya yang membuatnya demikian?
Dalam pendapat penulis, agama hendaknya tidak dipahami sebagai demokratis atau tidak. Agama apapun berakar dari sebuah struktur sosial, walaupun tidak berarti ciptaan darinya. Sebuah agama memberikan sebuah visi terbentuknya sebuah masyarakat baru yg akan mentransformasikan masyarakat yg bersangkutan akan tetapi jarang berhasil secara total menghapus status quo. Berhasil atau gagalnya visi baru yang diberikan oleh sebuah agama tergantung pada seberapa kuat kepentingan yg mengontrol masyarakat di mana agama itu lahir. Semakin kuat kepentingan yang ada semakin sulit untuk merubah status quo. Hal itu terjadi bukan hanya karena kepentingan baru yang berkembang dalam masyarakat muncul berdasarkan pada visi baru. Tetapi juga karena vested interest baru juga berkembang di masyarakat Islam, seperti yg akan kita lihat dalam diskusi berikutnya. Ajaran Qur'an sangat mendukung cara dan berjalannya demokrasi. Nabi Muhammad sendiri diperintahkan oleh Allah untuk berkonsultasi dengan para Sahabat dalam berbagai persoalan dunia
(wa syawirhum yg bermakna bermusyawarahlah dengan mereka [para sahabat])
Islam lahir dalam sebuah masyarakat di mana tidak terdapat struktur politik formal atau administrasi negara. Ia secara esensial merupakan sebuah masyarakat suku (tribal) tanpa penguasa atau struktur negara formal. Tidak ada hukum tertulis, hanya adat kesukuan. Islam tidak hanya memberikan masyarakat di situ sebuah visi baru yg lebih manusiawi dan
lebih menjamin kebebasan nurani tetapi juga memberikan hukum-hukum detail baik tertulis maupun secara lisan. Nabi Muhammad memberikan hukum melalui ucapan-ucapanya, di samping yang sudah terkandung dalam Qur'an. Visi baru ini jauh dari atoritarian. Nabi sendiri esensinya seorang demokrat sejati dalam sikap kesehariannya. Beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya pada yang lain kecuali pada hal-hal yg menyangkut agama. Beliau bahkan meminta para pengikutnya untuk tidak banyak bertanya karena jawaban Nabi nantinya akan bersifat mengikat. Nabi tidak mengijinkan siapapun untuk bersujud di hadapannya atau bahkan cuma berdiri dengan sikap hormat ketika Nabi memasuki ruangan
Alih bahasa oleh Khairurrazi*
Di sebuah acara T.V. seorang redaktur senior dari sebuah harian terkenal bertanya pada saya mengapa Islam begitu tidak demokratis? Pertanyaan itu mendorong saya menulis artikel ini. Pertanyaan itu harus dijawab. Apakah islam tidak demokratis karena berdasarkan watak ajaran yg terkandung di dalamnya? Mengapa tidak ada negara Muslim yang memiliki sistem demokrasi? Hampir semua negara Muslim dipimpin oleh raja-raja, sheikh, diktator militer atau sistem yang semi demokratis. Ini merupakan pertanyaan penting, yang harus dijawab dengan memuaskan. Pertanyaan lebih penting dalam hal ini adalah: Apakah Islam bertanggung jawab atas keadaan umat? Dapatkah sebuah agama menjadi demokratis
atau tidak demokratis? Ataukah para penganutnya yang membuatnya demikian?
Dalam pendapat penulis, agama hendaknya tidak dipahami sebagai demokratis atau tidak. Agama apapun berakar dari sebuah struktur sosial, walaupun tidak berarti ciptaan darinya. Sebuah agama memberikan sebuah visi terbentuknya sebuah masyarakat baru yg akan mentransformasikan masyarakat yg bersangkutan akan tetapi jarang berhasil secara total menghapus status quo. Berhasil atau gagalnya visi baru yang diberikan oleh sebuah agama tergantung pada seberapa kuat kepentingan yg mengontrol masyarakat di mana agama itu lahir. Semakin kuat kepentingan yang ada semakin sulit untuk merubah status quo. Hal itu terjadi bukan hanya karena kepentingan baru yang berkembang dalam masyarakat muncul berdasarkan pada visi baru. Tetapi juga karena vested interest baru juga berkembang di masyarakat Islam, seperti yg akan kita lihat dalam diskusi berikutnya. Ajaran Qur'an sangat mendukung cara dan berjalannya demokrasi. Nabi Muhammad sendiri diperintahkan oleh Allah untuk berkonsultasi dengan para Sahabat dalam berbagai persoalan dunia
(wa syawirhum yg bermakna bermusyawarahlah dengan mereka [para sahabat])
Islam lahir dalam sebuah masyarakat di mana tidak terdapat struktur politik formal atau administrasi negara. Ia secara esensial merupakan sebuah masyarakat suku (tribal) tanpa penguasa atau struktur negara formal. Tidak ada hukum tertulis, hanya adat kesukuan. Islam tidak hanya memberikan masyarakat di situ sebuah visi baru yg lebih manusiawi dan
lebih menjamin kebebasan nurani tetapi juga memberikan hukum-hukum detail baik tertulis maupun secara lisan. Nabi Muhammad memberikan hukum melalui ucapan-ucapanya, di samping yang sudah terkandung dalam Qur'an. Visi baru ini jauh dari atoritarian. Nabi sendiri esensinya seorang demokrat sejati dalam sikap kesehariannya. Beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya pada yang lain kecuali pada hal-hal yg menyangkut agama. Beliau bahkan meminta para pengikutnya untuk tidak banyak bertanya karena jawaban Nabi nantinya akan bersifat mengikat. Nabi tidak mengijinkan siapapun untuk bersujud di hadapannya atau bahkan cuma berdiri dengan sikap hormat ketika Nabi memasuki ruangan
0 Comments:
Post a Comment
<< Home